Jumat, 08 Oktober 2010

DENGAN “RASA KEBERSAMAAN” MEMBANGUN PERDAMAIAN SEJATI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI, KELUARGA, DAN DIRI PRIBADI

Perdamaian merupakan slogan umum dari seluruh umat manusia dan suku bangsa yang ada di dunia. Tetapi…..kenyataannya dewasa ini, jika kita mempertanyakan dimanakah perdamaian itu berada dan apakah telah terwujud, maka dengan menyesal sekali jawaban yang akan diperoleh adalah “tidak”.

Jadi, apakah arti semua itu ?
Seluruh manusia, dari dalam lubuk hatinya mendambakan apa yang disebut perdamaian, tetapi, ,mengapa sedikitpun tidak ada gejala yang menunjukkan tercapainya perdamaian ?
Menurut pemikiran saya untuk mewujudkan perdamaian, yang paling dibutuhkan adalah “ rasa kebersamaan”. Hal ini merupakan faktor utama dan satu-satunya cara mewujudkan perdamaian. Karena itu, jika “rasa kebersamaan” ini berkurang dari dalam diri setiap orang, maka tidak peduli seberapa hebat orang itu mengemas dan meneriakkan perdamaian, akhirnya tentu saja semuanya omong kosong belaka.
Walau tidak bermaksud membicarakannya panjang lebar, hal ini sama seperti ketidakmampuannya untuk membangun suatu bangunan yang kokoh di atas pondasi yang tidak lengkap. Meskipun demikian, saya merasa bahwa alasan ini walaupun tampaknya amat mudah dimengerti, selalu saja diabaikan disetiap situasi dalam rencana membangun perdamaian.

Sebagai contoh perselisihan antara pemilik modal dan tenaga kerja, atau ketika terjadi perselisihan politik antara partai politik dan kelompok tertentu, Jika kita perhatikan dengan cermat, kita akan menyadari bahwa manusia hanya mengutamakan hal yang saling menguntungkan mereka dan mencoba untuk mewujudkan perdamaian dengan cara menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan perjanjian-perjanjian bersyarat.
Jadi, tidak ada usaha dan kerja sama untuk mencapai keselarasan antara satu dengan yang lain.

Ini adalah kenyataan !

Pada saat itu, jika saja ada sedikit “ rasa kebersamaan” di dalam hati mereka, maka akan timbul perasaan yang melebihi rasa kebersamaan, yakni “ tenggang rasa “. Perasaan tersebut secara alami akan mengontrol hal-hal yang hanya memikirkan keuntungan diri sendiri saja. Mereka menetralisir perasaannya dengan memperluas jangkauan rasa kompromistis dan mewujudkan kerja sama yang baik, sehingga hal yang paling mulia dalam kehidupan umat manusia yakni perdamaian umat manusia yakni perdamaian akan terwujud nyata.

Akan tetapi, pada pada saat dibutuhkan, “ rasa kebersamaan” yang mulia ini hilang dari ingatan kita, yang ada hanya perasaan sekunder ( perasaan yang bukan merupakan kebenaran utama. Tidak punya arti penting), yakni perasaan yang menimbulkan dan memperbesar nyala api pertengkaran serta perkelahian belaka, sehingga timbullah perselisihan sengit yang memekakan telinga. Dalam situasi seperti ini, dewi perdamaian jelas tidak mungkin mendekat. Dan apa yang disebut penyelesaian secara sempurna, tidak dapat diharapkan. Situasi seperti ini tidak saja akan muncul pada siang dan malam hari di semua lapisan masyarakat moderen, tetapi juga diantara Negara dan Bangsa.

Selama keadaan ini masih berlangsung, sebagaimana telah saya utarakan sebelumnya, tidak peduli seberapa besar usaha seseorang untuk mengusahakan perdamaian, dan tidak peduli seberapa keras orang itu berusaha menarik masyarakat pada masalah tersebut, semuanya itu tidak akan ada gunanya, dan tidak dapat disangkal lagi, akan berakhir dengan hanya membuang waktu dan tenaga saja. Jadi, apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran “ rasa kebersamaan” dan “ perdamaian “ ini ?

Saya beranikan diri untuk mengutarakan berikut ini.
“Dari semua hal, yang paling utama adalah membangun perdamaian sejati didalam kehidupan sehari-hari dan keluarga masing-masing”.
Dengan kata lain, tidak peduli pada situasi yang bagaimanapun juga dalam keluarga tidak boleh terjadi perselisihan ataupun pertengkaran.

Jika dibahas lebih lanjut, kebanyakan orang berpendapat “ memang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan”. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang tidak memahami dengan benar apa yang disebut kehidupan, sehingga tidak terpikirkan oleh mereka bahwa menghargai nasib adalah suatu hal yang penting.
Sekalipun mereka telah memikirkannya, itu hanya sepintas lalu saja. Mereka tidak menganggap penting untuk memikirkan bahwa ditengah-tengah dunia yang luas, diantara manusia yang tidak terhitung jumlahnya, hanya diri mereka saja yang hidup dalam satu rumah sebagai ; suami-istri, orang tua, anak, kakak – adik atau saudara, serta sebagai tuan dan dipertuan. Hal ini merupakan akibat dari perjalan “takdir”, yang amat misterius tersebut secara ilmiah pun merupakan suatu peristiwa yang amat penting.

Misalnya, jika memikirkan mengapa di dunia ini diciptakan segala wujud benda, maka dengan segera akan diperoleh kenyataan.
Segala wujud benda di dunia ini bila dipandang dari segi ilmiah, merupakan partikel-partikel renik ( butir-butir yang amat kecil). Partikel-partikel ini tidak mungkin ditangkap secara sempurna oleh panca indera manusia. Sejak tahun 1907 partikel-partikel renik yang berasal dari alam ini oleh para ahli dikenal sebagai “Plank Constant H”. Dengan kata lain, seluruh alam semesta dipenuhi oleh partikel-partikel renik.
Partikel-partikel renik ini memang benar amat kecil.
Ini adalah hasil gabungan atau peleburan energi dari segala wujud benda yang ada untuk menyatakan keberadaan dirinya. Perbedaan bentuk dari segala wujud benda ini ditentukan oleh kekuatan energi.
Jadi, apa yang disebut “takdir” menurut ilmu filsafat adalah gabungan yang sulit dipahami dari partikel-partikel renik ini.
Yaitu, nama yang diberikan untuk mewujudkan keselarasan dari pengumpulan dan pemisahan energi “ Plank Constant H “ yang merupakan akar dari segala wujud benda.
Keberdaan segala wujud benda merupakan kumpulan dari partikel-partikel renik yang dinamakan “Plank Constant H “ dan, kumpulan partikel-partikel renik ini merupakan suatu kumpulan yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai keberadaan tunggal. Antara satu dengan yang lain saling bekerja sama dan saling mendukung.

Dengan demikian, di dalam segala hal dan peristiwa, jika ada kerja sama dan dukungan yang sempurna, pasti kestabilan akan terwujud nyata. Selanjutnya yang juga harus dipikirkan adalah, peralihan segala hal dan peristiwa, terjadi karena gerakan dasar
“ pemulihan keselarasan “ dari “ perjalanan alam” yang ada dan memenuhi alam semesta ini, dan mencoba mengarah kepada proses penyempurnaan segala sesuatu.

Demikianlah, berdasarkan kenyataan yang tidak mungkin ditentang lagi, dalam satu keluarga, apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipikirkan sebagai suatu keberadaan yang terpisah-pisah tersendiri.

Jadi, harus dipikirkan bahwa semuanya adalah “ satu wujud “. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dipikirkan sebagai diri sendiri. Sama seperti orang waras yang tidak mungkin untuk membenci, mengucilkan, memukuli, mendendam, cemburu buta, iri hati, ingat diri, membanggakan diri-sendri, melecehkan orang lain, memaki diri sendiri, dan sebagainya.

Demikianlah pada saat memikirkan segalanya adalah satu, tanpa alasan yang masuk akal, maka timbul perasaan cinta yang merupakan suatu perasaan yang paling mulia dalam hati manusia. Perasaan cinta inilah yang menjadi bibit perdamaian dan kekuatan untuk tumbuh, berkembang, dan berbuah.

Akan tetapi,

Entah mengapa!

Saya ingin mengatakan bahwa, dalam keluarga dari masyarakat dan suku bangsa yang berkebudayaan dewasa ini, perasaan cinta tidak tampak. Kalupun misalnya ada, hanyalah terbatas pada bentuk naluri hewani semata, bukanlah perasaan cinta yang keluar dari dasar lubuk hati.

Karena itulah, kemurahan hati seperti angin sepoi-sepoi tidak mungkin diperoleh dengan mudah. Dengan kata lain, “ Curahkan lebih banyak lagi perhatian pada kemurahan hati di dalam semangat dan kenyataan yang ada, kemudian lakukan instropeksi diri secara mendalam terhadap segala sesuatu “, yang berarti hidup dengan selalu instropeksi diri dan membuang penghalang-penghalang yang tidak disadari diri sendri.

Jadi harapannya, agar kita dapat memahami kebenaran sejati ini, dan menyadarinya. Berdasarkan kesadaran itu, menjalani hidup sehari-hari dengan mulia sebagaimana kita melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, dan berusaha dengan setulus hati untuk menyampaikan kepada orang-orang disekitar kita yang tanpa sadar hidup dalam ketidakbahgiaan agar mereka menjadi bahagia demi kebahagiaan bersama demi kebajikan hidup sebagai sesama manusia.

Tidak ada komentar: